Something In The Way
Aku
tak bisa berada di setiap lembah cakrawala dunia. Aku hanya bisa menggapai satu
ruang sempit dari semua ruang yang maha luas. Ruang yang serba gelap, pekat dan
kelam. Bayang-bayang selalu menjadi teman karibku. Ku kira aku selalu bersembunyi
dalam bayang kegelapan itu. Namun ku sadari betul; akulah bayangannya. Aku
hanyalah serpihan semesta, sekedar menjalani peran yang telah ditetapkan Tuhan pada
tiap-tiap suratan takdir-Nya.
Dunia
selalu saja mengejutkan; panggung yang tak pernah usai, teka-teki yang tak pernah
terjawab, permainan yang tak kunjung tamat. Orang-orang di dalamnya juga sangat
menghibur dan lucu, termasuk aku. Semuanya jenaka, kecuali orang-orang
berkacamata hitam, dengan memakai earphone di kupingnya, berbadan gempal disertai
bulu dadanya yang lebat, cenderung hipokrit namun mereka enggan mengakuinya. Ku
namai saja orang itu bajingan opertunis.
Tampilan
dunia ini bergerak tiga dimensi, siratan perjalanan tidak sesimpel pilihan-pilihan
opertunis. Sebuah perjalanan pada akhirnya akan bertemu pada setiap potongan-potongan
kebenaran. Kebenaran yang dipilih tidak akan pernah bisa dikompromi, sekalipun
akal dan perasaan selalu saja berselisih. Sebuah kebenaran terjebak dalam
dinding kebohongan mungkin terlihat damai seperti air yang tenang. Tetapi tanpa
ada yang menyadarinya, kebenaran itu akan menemukan celah terkecil di dinding
dan akan keluar menuju dunia. Dan bajingan opertunis itu tak akan mampu
membendungnya.
Segalanya
akan menjadi buruk sebelum menjadi lebih baik. Sejarah mencatat itu. Catat! Awal
mula peradaban pun bermula dari catat mencatat, baca membaca, hitung menghitung.
Peradaban yang terekam pada sejarah yang kita pelajari pun tidak sesimpel rutinitas
harian yang semu. Mereka – para aktor peradaban, selalu menumbalkan kepentingan
individual-politisnya kepada setiap manusia yang memiliki kebenaran
masing-masing di setiap kepalanya. Mereka adalah orang-orang yang bisa berkompromi
dengan sifat egoisme dan watak sektarianisnya.
Tidak
semua segmen perjalanan hidup bisa diceritakan lewat narasi dan deskripsi. Keluar,
pergi, cari dan temukan perjalanan sendiri, temukan makna di setiap tapak yang ditempuh. Catat dan rekam baik-baik susunan kebenaran yang ditemukan lewat
penelusuran perjalanan itu. Tak usah risau ihwal tujuan, berjalan saja sambil
membuat jalan – perlahan-lahan. Tak perlu terobsesi pada hasil, nikmati saja
prosesnya. Proses, menjadi bagian penting dalam melahirkan signature kehidupan
yang akan senantiasa bermakna pada setiap orang yang mentaklifinya dan berjuang
di sisa-sisa umurnya.
---
Gupak Menjangan (Lawu via Candi Cetho) 2.952 MDPL
Selasa, 24 Januari 2022 | Pukul 00:31 WIB
Al-Faqir Al-Mustadh’afin Muhamad Fairus Farizki
*Self-Imposed Exile : Sebuah Wisata Intelektual-Reflektif
Komentar
Posting Komentar