Untukmu (2)

Amerta Azalea


Malam temaram nan pualam pun dersik angin bergemuruh nan pelik seusai senjakala meredup disertai bentangan rona jingga kemerahan yang tertuai dalam pelupuk matanya, kala ia bersandar seorang diri di bawah kaki pohon randu itu. Begitu niskala nya perasaannya, begitu ambigunya perilakunya. Jika kau ibaratkan seluruh dahaga jiwanya bak kemurungan seekor merpati putih yang lucu nan menggemaskan. Telah bergeming dalam dirinya ; betapa ia merindukan seseorang yang ia kagumi, yang ia amati, yang ia taklifi sudah sejak pertama ia injakan kaki nya di tempat itu. "Kumohon berbaik hatilah padaku. Kau tak tau betapa aku jengah menunggu balasan binar matamu sampai saat ini? Ada apa dengan dirimu? Tega sekali! Aku membenci sekaligus menyayangimu sampai detik ini dan entah harus sampai kapan lagi?" Kicauan tulus hati sekaligus tampikan benci dirinya sendiri.

Seraya meratapi segala kegundahannya dengan serta mertanya ia menyelami samudera khayalnya. Ada begitu banyak glosarium skenario imaji yang ia buat sendiri dan seperti berasa ingin sekali berbuah manis pada suatu waktu entah seberapa lamanya, ia tak peduli. Satu waktu pernah ia bertanya pada dirinya sendiri karena merasa terlalu over dalam mengkhayal ; "Apakah aku seorang pasien skizo? Apakah kesehatan jiwaku terganggu? Apakah aku masih berada di bumi ini?" Dan masih banyak sekali lontaran pertanyaan baku semacam itu pada dirinya sendiri. Begitu dalammya perasannya hingga ia terhimpit oleh imaji nya sendiri. Dan lelaki itu masih enggan jua, walau hanya sekedar memalingkan wajahnya dan melihatnya sepersekian detikpun. Lelaki mana yang tega menenggelamkan perasaan seseorang?

Gadis itu adalah "Kyra Maheswari", sedari kecil oleh mamanya dan seluruh teman-temannya akrab sekali disapa dengan sebutan "Rara". Siswi MAN Insan Cendikia, kelas 11 IPA 4. Seorang gadis yatim–yah, ia tak pernah bertemu dengan ayahnya sudah sejak ia ada dalam kandungan. Ayahnya wafat kala ia masih sebenih jagung dalam perut mamanya. Juga merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya sudah beristri dan beranak pinak pula. Pun kakak keduanya sudah bersuami, namun alangkah bersabarnya keduanya mereka masih saja tak menemukan restu untuk memiliki buah hati seperti kakak pertamanya. Padahal usia pernikahan kakak keduanya lebih tua dibandingkan dengan kakak pertamanya. 

Belum lama ini, ia mendapati seonggok kertas dari seseorang yang tak ia ketahui sekalipun. Berisikan ajakan untuk bertemu di lereng bukit dekat sekolahnya. Sudah menjadi tak asing baginya. Tak hanya satu atau dua peristiwa semacam itu terjadi padanya. Ia membuangnya kertas itu, mengabaikannya, lalu pergi tanpa meninggalkan jejak patah dua patah kata. Walau memang semula ia berharap kertas itu berangkat dan tiba kepadanya dari seorang yang selama ini ia inginkan, seseorang yang telah membuatnya menjadi benci pada dirinya sendiri. Duhai lelaki itu, sudah suramkah pandangannya? Gadis itu bak bentangan rona jingga arunika yang hadir pada pelupuk matanya. Sayu simetris matanya, gempal pipinya, mungil bibirnya, dan bentuk minimalis dari hidungnya. Torehan prestasinya luar biasa, ia menjuarai olimpiade Sains sejak duduk di bangku SMP, pun sampai saat ini. Siapapun melihatnya pastilah tertahan untuk tak segera memalingkan pandangannya. 

Kala itu pula, saat menyusuri koridor, di sela-sela kerumunan para siswa yang hendak undur diri, dengan rasa terintimidasi oleh perasaannya sendiri, seseorang keluar dari dalam kelas tanpa menoleh sedikitpun padanya. Ia adalah lelaki itu. Berjalan dengan terburu-buru. Apakah ia sempat terpikiran untuk berhenti lalu memutarbalikkan badan lantas menorehkan pandangannya dan lalu menyapanya? Entahlah, mana mungkin. Mustahil sekali.

Dalam suasana koridor yang semula ramai kini berubah sepersekian detik hanya menyisakan mereka berdua. Mereka sama-sama berjalan namun dengan bahu yang tanpa beriringan. Ada semini rasa ia untuk mengejar lalu mengatakan "aku menyukaimu", namun nihil. Adalah perkara yang tak masuk akal untuk berbuat semacam itu padanya. Memalukan saja, pikirnya.

"Ada apa dengan dirimu kah? Sudahkah kau membaca koran kegemaranmu hari ini? Jika sudah, adakah namaku kau baca disana? Adakah rupaku kau cerna disana? Adakah binar mataku kau balas disana? Adakah jejak perasaanku kau tuai disana? Adakah air mataku kau usap disana? Jika kau dapati aku dalam keadaan gelap gulita dalam bentala raya, apakah kau akan dengan senang hati menolongku? Perlu kau ketahui, aku sedang berada disana saat ini. Terlepas dari jawabanmu iya atau tidak, aku tak peduli. Yang kuinginkan kau ketahui itu. Cukup tahu saja. Biarkan kutanggung semua dahaga benci dan sayangku padamu. Di lain sisi kau itu duri, di lain sisi yang lain pula kau itu nuri. Di satu sisi aku merasa guram, di satu sisi yang lain pula aku merasa tenteram. 

Kau membuatku bersyukur atas kesalahan-kesalahan yang kubuat saat ini. Karena setiap kesalahanku itu menuntun hidupku ke titik ini. Titik yang membuatku bisa bertemu denganmu sekarang. Walau dalam diam sekalipun.

Aku akan tetap dalam diam, sampai diamku kau hentikan.

Aku merindukanmu.


Penulis : Fairus Farizki

Arsip : 28 Januari 2021

Komentar

Unggulan