Untukmu (4)

 


"Tak akan kubiarkan dirimu melupakanku begitu saja, Dik. Saat engkau lupa, aku akan datang dan menghantui dirimu sesukaku"

---

Ada damai penuh ruai yang dirisak oleh jelaga dengan sesak. Ada deburan rindang yang terpekik meronta dengan senapan laras panjang. Ada hilir nadir yang siap diterkam oleh belenggu lautan kekacauan. Ada terasa kucium harum tubuhnya, macam tak sama saja dengan dahulunya ia. Ada kuduga macam berbeda saja gerik tingkah lakunya, niat apa yang akan dikau patrikan padaku, manisku? Sungguh, Segalanya penuh dengan tanya curiga. Segalanya penuh dengan duga sangka. Segalanya penuh dengan silang sengketa. Mengapa dikau sebegitu mencurigakannya padaku? Mengapa dikau enggan untuk bertatap asa denganku? Mengapa semuanya begitu berbeda denganmu? Mengapa seenak kehendakmu saja memilih tanpa melibatkanku didalamnya? Bagiku, kau tak ayal seperti orang lain saja malam itu. Kau bukanlah sesungguhnya.

Bisa ku cerna dengan segenap batin jiwa ini. Malam itu, ku melihatmu menjadi sesosok dewi ayu yang sedang memegang ikatan bunga, tercari-cari benang merah untuk diikatnya di balutan bunga itu. Sungguh, seorang dewi yang amat rupawan jika dipandang. Dalam hati ku berseloka ; "Aku tak ingin berbagi keindahannya pada orang lain, sekalipun itu orang terdekatnya. Keindahannya hanya milikku seorang. Langkahi dulu mayatku." Malam itu, kau sangat berbeda, Dik. Entah aku yang sentimen atau kau yang bersikeras menutupi tabiatmu. Rasa ketakutan dahulu kurasakan seketika merangsang naik ke ulu hati dalam sepersekian detik diterkamlah jejak-jejak rasa-rasa yang lain. Kalut jiwa ini terasa, bagaimana bisa ia membawa niat semacam itu? Apa pula yang ia pikirkan? Ceroboh sekali perbuatannya. Kalut saja batin terasa. Ia telah menjadi orang lain saat ini. Bukan orang yang semestinya kukenal. Aku sangat kecewa dengannya. Oh tuhan, dzat yang maha membolak-balikan perasaan manusia. Kumohon lengkapilah kembali hidupnya, kembalikan ia menjadi pribadi yang dahulu. Bukan ia yang sekarang yang tengah kulihat oleh mata kepala sendiri.

Dik, kau sambut rinduku dengan sembilu. Adakah kau bertanya tentang rasa cinta dan kasih sayang yang kau dan aku rawat dari mungilnya sampai tumbuh mekarnya? Apakah dirimu sudah tak ayal lagi membuang rasa itu? Sungguh dik, jika engkau membuang itu dengan senonohnya, maka engkau telah membiarkan duri selongsong menusuk paruh hati masing-masing kita. Mari kujelaskan bagaimana rasa itu menjadi teramat besar, sebesar apapun tak terkiralah bagaimana wujud daripadanya. 

Dik. Pernahkah kau tahu seluas apa alam semesta ini? Alam semesta, tempat kita ini tak ditemukan batas daripadanya, ia hanya terbatas oleh ruang dan waktu. Dimana ketiadaan ruang dan waktu, disitulah batas daripada alam semesta. Tak seperti alam semesta yang mempunyai batas ruang dan waktu, sungguh rasa Cinta dan Kasih Sayang Tuhan kepada kita semua tak akan ada batasnya, sekalipun itu ruang dan waktu. Cinta dan kasih sayang tak pernah mati. Ia akan terus hidup, senantiasa berpijar, tak lekang oleh waktu, tak terbatas oleh ruang, pun terbebas oleh dimensi. Cinta dan kasih sayang tuhan yang diberikan kepada semua manusia adalah nikmat terindah yang pernah ada. Maka sungguh jika kita berdua menafikan cinta antar kita, maka kita telah buta dengan nikmat ilahiyat tersebut. Sungguh orang yang merugi dik, jika selama hidup manusia tak pernah bisa merasakan kesucian cinta yang amat dahsyatnya. Dikau menafikan cinta, sama saja dengan menolak nikmat dahsyat itu. Maka apa beda kita dengan orang-orang kufur nikmat itu? Kita adalah bagian darinya. Maka dengan ini, masihkah engkau enggan merasai bentuk cinta dan kasih sayang daripada nya? Masihkah engkau menolak cinta dan kasih sayang, yang kita rawat yang kita jaga selama apapun itu? Masihkah engkau ragu dengan cintamu? Masihkah engkau ragu dengan dirimu? 

Teruslah merasa ragu, dik. Maka, akan ada banyak perasaan kehilangan yang engkau dapatkan. 

Teruslah merasa percaya, dik. Maka, akan ada banyak kenikmatan tak terhingga yang engkau dapatkan. 

Aku terhairan-hairan dengan orang-orang yang mengolok-olok seseorang yang sedang merasakan kenikmatan cinta, dan mereka merasa bangga dengan perolokannya itu. Bagaimana bisa ia merasa superior semacam itu? Apakah dalam hidupnya tak pernahkah ia merasakan seperti apa yang kita rasakan saat ini? Apakah hidupnya tak pernah ia mendapatkan cinta yang tuhan berikan dengan begitu sucinya ini? Apakah kita yang sedang bertafakur atas cinta-Nya sebegitu najisnya–lebih najis daripada dubur ayam? Lalu, apalah arti cinta menurut orang-orang semacam itu? Apakah cinta menurut mereka hanya sebatas orang-orang yang bermesraan dipinggir kali, lalu berpelukan, bergandengan tangan, berciuman, lalu pulang dengan perasaan was-was karena mereka tak mendapat izin dari orang tua mereka untuk berpacar-pacaran? Apakah sekerdil itu pandangan mereka me-makna-kan "Cinta" ? Orang-orang semacam itu sangat terbatas sekali dengan persepsinya, mereka terjebak dengan pengalaman-pengalaman pahit atas hubungan cintanya. Padahal "Cinta" lebih dari apa yang kita maknakan, seperti yang kusinggung di atas dik, Cinta tak terbatas ruang dan waktu. Bagiku, segala apapun yang membahagiakan itu adalah Cinta. Begitupun jika aku merasa dekat denganmu, walau fisik ini begitu jauhnya denganmu, aku tetap merasa bahagia atas nya. Maka, aku senantiasa mencintai mu. 

Lalu, masihkah? Masihkah, dik? Mari! Berbahagia denganku tanpa apa, dan karena. 

Komentar

Unggulan