Sahabatku


Bingung, kata yang mewakili kondisi batinku saat ini. Lesu, tutur yang mewakili kondisi jasmaniku saat ini. Aku haturkan maaf sedalam-dalamnya kepada semua yang harus ku utarakan maaf. Terima kasih kepada semua sahabat-sahabatku yang mampu bertahan hingga saat ini. Khilafku tak terhingga, kesalahanku tak bermuara ujungnya. Benarku sepenuhnya milik Tuhan yang maha benar. Salahku, luputku, sepenuhnya milikku sebagai manusia dhoif yang selalu lalai akan kebenaran Tuhan.

Aku terlahir ke dunia ini dengan segala rupa keraguan. Aku manusia ragu. Segala macam hal tak bisa ku luput dari keraguan. Aku selalu bimbang dengan jalan yang ku tempuh sendiri. Apalagi harus diamanahi untuk menahkodai sebuah wadah yang benar-benar elok jalannya. Keputusan konkret, kejelasan, kepastian adalah hal yang harus ada dan mewujud dalam wadah tersebut. Kiranya sangat bertolak belakang denganku. Itulah sebabnya, aku cenderung lalai akan sebuah keputusan dan selalu ragu akan sebuah kejelasan. Aku adalah manusia yang penuh pertimbangan dan keraguan. Entahlah, ada berbagai macam tanggapan dari orang-orang; ada yang menganggapnya sebagai sesuatu hal yang bagus, ada juga yang menganggapnya sesuatu yang buruk. Namun, bagiku kondisi semacam ini adalah biang penyakit yang terus menerus menggerogoti semua proses hidupku. Itulah penyakitku, kelemahanku, sahabatku.

Maka dari itu, aku tidak menuntut banyak, kawanku, sahabatku, semuanya. Akupun tak enak rasanya jika terlalu banyak menuntut. Aku membutuhkan kalian, sungguh. Jika batinku selalu merasa ragu, maka yakinkan aku atas nama persahabatan. Jika gelagatku terlalu banyak pertimbangan, maka pastikan aku dan yakinkan aku atas nama kekeluargaan. Aku tak bisa menuntut lebih, sahabatku, hanya itu saja, cukup. Aku pun manusia perasa, manusia yang sangat emosional. Nuraniku, belas kasihku, kepada semua orang, termasuk kalian tidak pernah mati, Wallahi. Bahkan aku merasa pandangan mata semua orang yang menatapku, termasuk kalian sahabatku, adalah pandangan mata berang, dengki, seperti memusuhiku secara diam-diam, seperti tatapan mata yang memendam rasa benci padaku. Entahlah, aku hanya merasa demikian.

Jika kemudian salah, mohon maafkan dan aku memohon terangkan jika asumsiku ternyata salah. Aku berharap, dan sangat berharap ada yang mengatakan, sebab menyakitkan rasanya bagiku. Aku sulit mendekatkan diri kepada kalian semua, aku merasa penuh dosa dan berlumur kesalahan jika berada di dekat kalian dan bercengkerama jenaka dengan kalian. Ku mohon haturkan padaku jika asumsiku ternyata salah, kawanku. Atau kalaupun memang benar adanya, ku mohon maafkan. Aku akan berusaha memperbaiki diri. Ku mohon sahabatku, koreksi kesalahanku, marahi aku, tegur aku, jika ada hal yang tidak bisa kalian terima. Aku dengan senang hati, bahkan gembira jika kalian melakukan hal semacam itu padaku.

Sahabatku, kalian tahu makna dari sahabat bagiku? Bagiku sahabat adalah satu kesatuan entitas yang tiada duanya, tiada tiganya, tiada berbilangnya. Sahabat adalah ia yang tak mau sahabatnya berjalan dalam jurang ke-fana-an. Sahabat adalah ia yang enggan sahabatnya luput akan kebaikan. Jika sahabatku merasa salah, maka aku pun merasa salah juga dan sudah menjadi tanggung jawabku untuk kemudian membenarkannya. Jika sahabatku merasa lapar, maka aku pun merasa lapar juga dan sudah barang tentu menjadi tanggung jawabku untuk merasa kenyang bersama. Jika sahabatku merasa menderita, maka penderitaan itu pun dapat ku rasakan dan sudah menjadi tanggung jawab untuk membuatnya Bahagia bersamaku, bersama-sama.

Sahabatku, engkaulah tanggung jawabku. Begitupun aku adalah tanggung jawab kalian. Tanggung jawab bersama. Sebab kita adalah sahabat, satu jiwa, satu rasa, dan satu! Tak ada duanya, tak ada tiganya, tak ada berbilangnya. Marilah! Bersama-sama melangkah kepada jalan kebaikan yang diridhoi Tuhan yang maha menyatukan kita sebagai sahabat, fiddunya, wal akhiroh. Aamiinn.

Entahlah, perasaan ini terbentuk dengan sendirinya, sahabat. Sudah pula tertanam dalam tubuhku. Aku tak pandai mengutarakan semua ini lewat lisan kepada kalian, tak ada momentum jua untuk membincangkannya secara asertif dari hati ke hati, disamping aku memiliki kelemahan pada perasaanku dan juga anggapanku yang terus menafsirkan tatapan mata kalian benci padaku. Hal itu pula yang membuat tulisan ini sebagai media bagiku untuk berterus terang kepada kalian. Semakin lama perasaan ini terpendam, semakin pula ku sesak, ku pengap untuk menyimpannya. Maka dari itu, kutuliskan saja sebisaku disini. Aku tak peduli bagaimana tanggapan kalian nantinya, yang jelas seperti inilah perasaanku – yang sesungguhnya.

Ruang Refleksi, 17 Oktober 2022. 17:00 WIB
Al-Faqir Al-Mustadh’afin Muhamad Fairus Farizki


Komentar

  1. Pun begitu wahai sahabatku, dengan kesadaran penuh terimalah maafku, dan terimakasih telah selalu menjadi sahabatku....

    BalasHapus

Posting Komentar

Unggulan