Bentala Cipta


Dalam remang pagi buta, tak begitu terasa fajar menyingsing terbit suka cita dengan segala kemewahannya. Seruan surau bergema di segala lini kota, mencipta suasana yang begitu rupawan nan jelita. Seruan yang kian membawa decak bahagia, decak suka cita, decak purna karsa. Tak ada yang lebih menenangkan selain meresapi senandung adzan di sebalik surau-surau ceria. Segelintir orang berbusana religi berderap melangkahkan kaki mengunjungi langgar terdekat bersama-sama, dengan penuh rasa kerinduan kepada sujud subuhnya. Namun, segelintir orang yang lain pula terlelap dalam remang dan bayang delusi rebahnya, dengan mempayah bengah kepada delusi khayal mimpinya. Keduanya sama-sama indah, ya? Mereka yang terjaga lantas melangkahkan kaki mengunjungi surau mulia adalah mereka yang menerima dengan lapang dada semua nikmat dan karunia-Nya. Berlaku jua bagi mereka yang terlelap di pagi buta dengan kantuk suntuknya memilih jalan rebahnya, semata-mata sebab ia menikmati rezeki mewah tuhan berupa tidur leyeh-layah. Tak ada yang perlu dihakimi dan menghakimkan, semua tetap berjalan menuju kepada-Nya dalam cara yang berbeda-beda. Husnudzon saja. Hanya Ia yang maha terbebas yang layak memberi penghakiman kepada kita semua. Kita hanyalah makhluk yang sebegitu kentara dhoifnya, berusaha merindu dan mengkasih kepada 'Dia' dan kepada para kekasih-Nya. Sungguh, betapa indahnya jagat dunia. 

Kepada semua yang senantiasa merindu dan mencinta kepada-Nya, rengkuhlah jiwa raga ini yang tetap terpaut dosa dan sengketa. Raga ini teringin mencinta dengan sungguh mencinta, jiwa ini jua amat teringin merasa merindu dengan sepenuh rindu. Begitu banyak bangkai berulam noda, begitu kentara kefasikan berujung dosa, begitu payah berusaha memisahkan jawat rampai nestapa, batin mengaduh dengan meronta, jasmani mengeluh dengan duka, pikiran melayang terseok-seok dengan luka, waktu terbuang percuma, gelisah mengerogoti badan sampai mampus dimakannya, daku tak ingin mati sia-sia. Wahai semua yang mencinta, kasihani dan temani sahaya, sahaya enggan layu dengan sia-sia. Deraplah! Rengkuhlah! Sahaya sebegitu tak berdayanya. Astaghfirullah. 

Kala fajar terhenti, mengganti cerah cahaya mentari membersamai awal mula pagi hari. Menyatu dengan semesta rohani, membaur dengan semesta jasmani, masih saja jiwa miskin esensi, raga minim eksistensi. Tak ada yang perlu dikejar dalam dunia, semua-muanya akan tertuju kepada yang satu, tiada duanya, tiada tiganya, tiada berbilangnya. Allah semata. 


Fairus Farizki

Senin, 22 November 2021

Gor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(Lapak PMII Pembebasan Rayon Ushuluddin dan Pemikiran Islam)

Komentar

Unggulan