Masih Manusia

 


"Saat seekor anjing dungu menggonggong, anjing sekampung pun serempak ikut menggonggong tanpa mengetahui alasannya sama sekali. Dan baru kusadari, akupun adalah salah satu dari kawanan anjing dungu itu".


Sudah agak lama juga blog ini sepi dengan muatan tulisan-tulisan. Rasa-rasanya aroma padam tercium dengki dalam hasrat sentimenku pada blog personal ini. Tak ada alasan lain, selain "malas". Yap! Aku masih sama saja seperti kebanyakan manusia pada umumnya, malas memang menjadi benalu utama pada jiwa seseorang agar ia menolak untuk berprogres. Jika malas sudah hinggap dalam jiwa seseorang, maka segala sentimen untuk maju akan mengalami hambatan-hambatan yang amat berat. Macam diriku yang busuk ini, ketika malas sudah begitu berkecamuk dalam diri, maka segala macam undak usuk agar produktif menulis akan bertemu dengan hal-hal yang bisa mencegahnya, walau dipaksa seradikal apapun padanya.

Sayangnya, menurutku, tak ada obat yang betul-betul manjur untuk menjadi penawar ampuh bagi penyakit malas ini. Begitu banyak ku menulusuri cara ampuh kepada seorang motivator masyhur di tv-tv yang memberikan solusi terbaik untuk bisa melawan kemalasan ini, namun sungguh tak ada sama sekali kutemukan penawar itu. Jika ada obat penawar itu barang seinci pun bentuknya, walau hanya satu-satunya dalam peradaban, sejauh apapun jaraknya, selama apapun waktunya, akan kucari barang sampai kiamatpun. Karena memang tiadalah rupa obat itu kita cari dimanapun adanya. Disudut galaksi manapun tak ada orang menjualnya. Bukanlah kita yang mencari obat itu, bukanlah kita pula yang temukan obat itu. Melainkan, bentuklah sendiri obat penawar malas itu dalam diri kita masing-masing, carilah resep obat itu versi diri kita sendiri, ramu lah dengan takaran yang pas sebagaimana kita membutuhkannya, sebab hanya pada diri sendirilah batu kunci daripada kemalasan bisa terobati dan terselesaikan. Pertanyaan macam ; "Bagaimana caranya agar tidak malas?" Hanya bisa dijawab dengan ; "Ya, Jangan Malas!". Karena memang ramuan manjur itu hanya kita sendiri yang mampu menemukan. Maka temukanlah! 

Dan memang rasa malas ini manusiawi sekali kita rasakan. Sebagai manusia kita diberi anugerah berupa "perasan/gairah" oleh yang maha kuasa. Gairah semacam ini sangat manusiawi sekali. Orang-orang superior macam ; Albert Einstein, Nikola Tesla, Thomas Alfa Edison, Robert Oppenheimer, Mark Zuckerberg, Elon Musk, Jeff Bezos, pastilah pernah mengalaminya pula, bahkan mungkin lebih parah daripada kita semua. Maka sungguh, perasaan malas ini manusiawi sekali dan sangat wajar jika kita semua mengalami. Lagipula, jika tanpa malas, tak bisalah kita mentadabburi nikmat yang tuhan berikan kepada kita secara cuma-cuma tanpa ia menginginkan jaminan kembali. Kita bisa leha-leha sejenak seraya memikirkan hal-hal yang sudah kita dapati sampai saat ini. Kita bisa merenung akan makna kita hidup di dunia ini, apakah kita sudah benar-benar bahagia? Jika sudah, apakah teman-teman kita, saudara kita, orang lain, merasakan kebahagiaan yang sama juga dengan kita? Apakah hal yang bisa membuat dirimu, diriku, dirinya, semuanya, merasakan kebahagiaan dalam hidup ini? Apakah dirimu sudah baik? Sudah baikkah dirimu pada diri sendiri? Sudah baikkah dirimu pada orang lain? Jika belum, lantas bagaimanakah caranya menjadi orang baik? 

Begitulah malas, ia bisa menjadi pisau bermata dua, tiga, empat bahkan bisa saja bermata tak terhingga kiranya, tergantung dengan sikap kita mencermati kemalasan tersebut. Maka jika tadi kukatakan bahwa ; "Perasaan malas adalah hal yang manusiawi", maka kukatakan juga ; "Berusaha agar bangkit dari malas pun adalah manusiawi juga". Perasaan malas memang manusiawi, wajar saja jika kita alami, tapi karena sifat manusiawi itu pula tak bolehlah kita kiranya terjebak terus tanpa henti dalam zona malas tersebut. Merasa malas atas dasar manusiawi dan bangkit atas dasar manusiawi pula. Dengan begitu kita adalah manusia seutuhnya, manusia dengan kabaikan dan manusia dengan keburukan jua. 

Begitulah agaknya romantisme harmonisasi yang tuhan berikan kepada kita semua. Manusia memanglah manusia, ia terlahir dalam keadaan serba rentan. Rentan kepada semua yang baik, dan rentan pula kepada semua yang buruk. Mereka bisa saja melakukan keburukan dimana saja dan kapan saja, begitupun sebaliknya. Tapi, segala keburukan manusia bukanlah kutukan, segala kebaikan manusia bukan pula mukjizat, keduanya adalah harmonisasi ritmis yang senantiasa mengalun indah bak biola berdawai dan dentingan piano. Semua itu adalah anugerah sang maha kuasa dengan segala bentuk kasih sayang-Nya kepada manusia. Jadi, tak perlu dicerca jika seseorang berada dalam titik keburukannya, tak perlu didewa-dewi kan seseorang yang senantiasa berada dalam lingkar kebaikannya. Biarlah semua berjalan dengan indah sebagaimana skenario tuhan yang maha indah pula. 

Komentar

Unggulan