Manusia - Manusia Malang
Telah luput kemanusiannya barang sesenti pun macam kemelut api memporak-porandakan lapisan demi lapisan bahan material. Telahlah hilang baginya jiwa kasih sayang yang amat suci itu yang diberikan tuhan kepada semua kita yang mendamba. Ada pula yang merasa superior atas pencapaiannya hingga mencapai titik dimana ia menuding tak bermakna kepada selainnya. Tak begitu sadarnya dengan kegetiran duniawi hingga luput pula alam semesta pun saat ini macam kapuk berapi menunggu fananya. Badai topan, lautan asap, bercak kegundulan hutan, lautan kerat mikroplastik, ancaman punah babon dan simpanse, dan lebih ekstremnya lagi telah merebak virus dan bakteri pembunuh macam aliran longsor yang menyapulenyapkan segala jejak dan bayang manusia. Peradaban akan mencapai titik kehancuran dan manusia hanya tinggal menunggu punahnya.
Buku-buku pun berdebu, kitab-kitab pula ikut termakan rayap. Segelintir orang berpengetahuan tinggi terinjak-injak harga diri dengan dalih demokrasi, kebebasan berekspresi, pun kebebasan akali, namun nihil moral dan asasi. Jenaka juga manusia-manusia pintar itu mencap aliran darahnya sebagai kepintaran yang tiada duanya, namun menyogok para konsultan terpelajar licik demi kepintarannya nista nya itu. Pengetahuan terinjak-injak bak kotoran binatang berbulu yang kentara sangat terlihat oleh kedua belah mata. Patut dicurigai identitas 'manusia' nya. Manusia dengan embel-embel asasinya menuntut hak sedemikian rupa untuk dirinya sendiri namun lupa hak orang disekitarnya padahal sesama manusia pula. Ada pula macam orang-orang yang perang dalil seolah-olah mengatakan penuh ambisi dan busungan dadanya ; 'akulah kebenaran, akulah kebenaran'. Manusia-manusia malang, ia sangat mengingat kekejaman orang lain padanya padahal sebegitu kecilnya. Namun ia lupa, bahkan enggan mengingat kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya. Sekali lagi, manusia-manusia yang amat sangat malang.
Kemudian kala fajar tiba, alih-alih harapan disambung semangat yang dihadirkan. Tetapi kalut saja, hanya emas permata, paras dan kemolekan, segepok uang pemuas nafsu menjadi ajang pamer para peragawan dan peragawati manusia itu. Seperti busuk saja kehidupannya. Jika saja simpanse itu diperlakukan seperti kebanyakan manusia maka niscaya simpanse akan lebih bijak darimu, lebih pintar darimu, lebih kuat darimu. Sejarah mencatat itu. Lalu, ketika mulai naik mentari setombak saja, berubahlah semua hayal dan bayangnya, ia menyadari seperti tak membahagiakan saja dunianya, padahal pagi tadi mereka sambil lalu memamerkan segala kepunyaannya. Lebih jenaka juga manusia ini, mereka menghabiskan segenap usianya dengan mencari dan mencari kebahagiaannya, padahal kebahagiaan tak usahlah dicari, tak akan kau temukan barang sejauh apapun, selama apapun. Bahagia ya bahagia saja. Mengapa tercari-tercari? Terbuang waktumu, maknailah kehidupanmu sendiri. Tak usahlah kau cari-cari makna kehidupan yang sudah jelas ada. Menjelang sore, manusia mati dengan tersia-sia jasadnya, ruh nya memurungkan bentuk jasmanisnya, meyesali perbuatan akan kehidupan nista yang ia perbuat kala hidup lalu. Kodratnya akan segera sampai. Tiada yang akan bisa menolongnya barang satu orang pun. Hancur dalam kemurungan. Tersedih dalam kehampaan.
Komentar
Posting Komentar