Untukmu (3)
Setangkai Dandelion Tergenang Dalam Lirikmu
Wahai gelap, apa kabar? Ku mencumbu mu kembali setelah beberapa riuh dan gemuruh kau usikku. Bentuk syukur ku beradupadan dalam lisan dan perasaan. Selamat dan sekaligus duka cita atas diriku yang begitu larut dalam anugerah dan sengketamu. Kuharap dirimu memaklumi dan mengilhami diriku setiap derik dan pelik. "Alhamdulillah masih dengan dunia yang sama dan dengan tarik hembusan nafas yang terbiasa". Pungkasku seraya memberhentikan sejenak pandangan kepada derik, konflik dan intrik.
Wahai gelap, ada maksud apakah dikau membawaku berkeliling dan memamerkan museum masa laluku? Arlojiku berbalik dan berputar memaksa untuk berteduh sejenak dalam dimensi lampauku seraya mengumpat tentang antipati diriku padanya. Aku tahu, ada banyak algoritma dan glosarium fiskal disana. Ada yang berbentuk keriput nan mungil namun bencana, ada yang berbentuk buncit nan kokang namun jenaka, ada pula yang berbentuk mercusuar nan lunak namun menganga. Tetapi, ku tak begitu menyangka. Sepintar itukah kau menarasikan kejadian demi kejadian itu. Sejenius itukah kau mendeskripsikan persoalan demi persoalan itu. Serasa ingin kembali namun menolak dan tetap tabah diri. Bak rayap menerkam kertas yang melapuk, memori dan empati ku pun diterkam pula olehnya. Sayup terdengar kisah misterius, sayup pula terdengar kisah roman. Aaah! Apa pula? Di satu sisi masa lalu memang indah, di satu sisi yang lain pula masa lalu memang gundah.
Wahai gelap, wahai yang melebihi bentuk heningnya. Wahai terang, wahai pula yang melebihi bentuk gemerlapnya. Wahai yang maha menaburkan kebahagiaan kepada semua yang rapuh dan tersungkuh. Aku menerima segala apa yang engkau beri dan kasihi dengan sepenuh hati. Kepada semua yang baik ataupun pailit. Terima kasih atas segala torehan cinta dan kasih yang amat dalam kepada semua yang merasa terdiskriminasi dalam dicintai dan disayangi. Sungguh, engkau adalah maha menaburkan cinta kepada semua yang selainmu dirimu. Terima kasih telah menjumpai ku dengan pelbagai macam derita dan sengketa, dengan pelbagai romansa dan jenaka. Izinkan diriku pergi dan menyimpan larak lirik lampau itu. Biar ku susun kembali bongkahan yang belum terjamah dan ku pasang bak museum pra sejarah. Terkenang dalam keabadian. Terbaca dalam keadaan. Terindah dalam deretan. Cinta adalah hal yang paradoksikal. Maka dari itu, bagaimanapun juga ku tak akan bisa melogikakan cinta. Dan barangkali jika diriku menderita karenanya, kuharap jangan pernah salahkan cinta atas nama kesakitan yang ku miliki. Karena sungguh cinta itu membahagiakan bukan menyakitkan.
Wahai gelap, ku dengar ada seseorang berusaha memanggilku dengan sebutan agak aneh ; "Si Eta". Ku biasa menyebutnya dengan akrab ; "Tulip". Kukira seperti itulah ia memanggilku dan aku menanggilnya. Kutanyai seseorang itu sekarang juga, ku tak peduli berwujud apakah dirinya ; Jantan kah? Betina kah? Aku tak ada urusan dengan gender. Katakan padanya wahai gelap, aku telah memelihara rindu yang ia titipkan padaku kala itu. Aku sedang membawanya menuju ke sebuah bangunan kecil nan elok. Aku sedang membingkainya, menghiasinya, meremajakannya. Kepada seseorang itu, Takkan ku biarkan kau melupakanku begitu saja. Karena disaat kau mulai melupakanku, aku akan menghantuimu sesukaku. Semakin kau paksakan, semakin aku enggan untuk berhenti.
Sugeng kama, kasih.
Penulis : Fairus Farizki
Arsip : 15 Februari 2021
Komentar
Posting Komentar