Untukmu (1)
Aku bertanya kepada semilir angin yang sukses meringsak kerah kemeja ku. Barang sudah melanglang buananya ia sepenjuru sudut dunia. Kukira layak kutanyai. "Wahai angin, Apakah ada sekelopak bunga tulip yang kau bawa? Kau sudah menyusuri dunia, bahkan sampai sudut terkecilnya. Kau bawakah? Atau setidaknya kau mengetahui peredarannya? Beritahu aku. Kumohon." Jawabnya ; "Tidak ada, ia hilang dan tak pernah meminta kembali. Dan mungkin saja ia memutuskan untuk tak pernah tampak kembali jua, selamanya." Angin acuh berlalu tanpa menyemai kabar baik semilipun padaku.
Ku menyadari pijakan ku tertumpu pada tanah. Tanah yang katanya subur membentang luas seantero bumi. Tak terkecuali pun tanah Nusantara. Pernah terdengar kutipan semacam ini ; 'Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya. Tapi, belum semua rakyatnya sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surga piciknya sendiri'. Asudahlah. Lantas, kutanyai kembali tuan tanah itu. Barang tentu ia tahu mungkin, seonggok bunga tanpa berimbun tanah, takkan pernah bisa hidup, setidaknya satu dari syarat-syarat vital untuk tanaman bertahan hidup. "Wahai tuan tanah, Kemana perginya bunga tulip itu? Di bagian dirimu yang mana ia tumbuh dan berkembang?" Jawabnya ; "Tulip si Sombong itu. Heuh! Ia sudah lama tak menampakkan dirinya padaku. Enyahlah, Nak!" Bahkan bentangan tanah tempatnya hidup pun ia enggan? Masya Allah. Tulip... Tulip.... Kau durhaka.
Lembayung kian habis diterkam rambatan cahaya bulan. Orang-orang lokal biasa menyebutnya dengan Sandaikala. Bak elang menikam, seuntai prasangka ku tuk menemuinya terus saja mengumpat pantang menyerah. Bongkah demi bongkah, lapis demi lapis, hampir terbuka sudah jalannya.
Ku mencoba menggoda sang pengampu tulisan. Sepatutnya, dan hanya jika sepatutnya, ia musti tahu aroma Bunga Tulip itu. "Wahai buku, apakah mungkin kau sukarela memberitahuku dimana letak tulisan bernuansa bunga tulip? Kau sepatutnya tahu, semua orang mencatat apapun di dalam tubuhmu, barang tentu 7 miliar manusia menuliskan satu tangkai Tulip pun di dalam dirimu? Akankah?" Jawabnya ; "Nak! Lembaran itu sudah lenyap ditelan bumi, entah atas dasar apa seseorang melakukannya, dan dengan motif apa seseorang menghilangkannya, akupun tak tahu. Spekulasi ku, dan hanya spekulasi ku saja. Yang melenyapkan adalah sesuatu yang ditengarai di dalamnya, sesuatu yang dibahas di dalamnya. Maka jika memang tepat sasaran, Tulip sendirilah yang melenyapkannya."
Tak pernah bisa kuterima spekulasinya. Terkejut. Tak percaya. Bagaimana bisa? Mana mungkin dia sendiri yang melenyapkan dirinya. Jika memang tak keliru satupun, ia memang sengaja mendompleng dirinya agar benar-benar hilang di telan bumi tanpa menanggalkan satupun kabar padaku. "Dan spekulasiku lagi, Nak. Kemungkinan besar ia melakukan itu karena era baru tatanan politik dinasti yang menghantamnya. Hukum yang carut marut terobjek kepada keluarganya. Ekonomi yang terlindas habis, bahkan satu sen pun tak diterimanya. Perceraian kedua orang tuanya. Kematian suami, anak dan adik tersayangnya. Ia sudah hilang segala harapan untuk hidup dan bertahan. Dan semua cerita tadi, adapula seseorang menuliskannya dalam bentuk perkamen-perkamen tua dengan tinta asal jadi. Lalu, ia terbitkan di salah satu penerbit yang juga membenci keluarganya. Buku itu tersebar seantero negri, Nak. Maka dari itu ia berusaha melenyapkan tulisan itu sendiri. Baginya sangat menyakitkan untuk terus ada, walau memang tulisannya adalah benar adanya."
Sontak diriku tak pernah menyangka akan se-kompleks ini permasalahannya. Bagaimana bisa ia tetap tersenyum kepadaku kala itu sedangkan di dalam hatinya penuh rantai duri yang tak pernah bisa kubayangkan.
"Satu lagi, Nak. Aku lihat dari catatan dan referensi yang ada. Mungkin saja, ia melenyapkan itu dibantu oleh sang Merah." Jelasnya penuh misteri.
"Sang Merah? Siapakah dia?" Tanyaku kembali.
"Api. Dia meminta bantuan api untuk melenyap hanguskan semuanya. Tak begitu lama, sekitar 4 hari yang lalu. Kau temuilah sang Merah itu. Kau tanya keberadaannya sekarang. Ia pasti tahu." Jelas sang buku itu membawa angin sejuk padaku.
"Terima kasih, Maester Buku. Aku sungguh berterima kasih." Belum sempat ku undur diri dan memohon pamit, ia sambung kembali pelbagai macam kalimat nya.
"Nak. Ia membutuhkanmu, cepatlah. Dekaplah ia sebagaimana seseorang yang kau cintai selama ini. Dan memang begitu kan keadannya? Iyakan? Enyahlah, Nak! Temukan ia." Rayu maester buku itu padaku. Sepertinya pipiku merona merah. Sungguh aku tak bisa menyadarinya. Tapi, peduli setan dengan itu. Beranjaklah pergi mencari kepingan puzzle berikutnya. Kepingan hiasan rindu. Kepingan purnarasa. Kepingan penuh bahasa cinta. Kepingan itu kau lah representasinya, Dik. Tenanglah. Tunggu aku disana. Aku merindukanmu. Always ✨
Tulip. Aku datang.
Penulis : Fairus Farizki
Arsip : 15 Desember 2020
Komentar
Posting Komentar