Perihal Jenakanya Mengajar dan Hubungannya dengan Minat Literasi di Indonesia
Begitu tak jarangnya saya menjumpai pelbagai konten-konten literasi yang masyhur di media online. Ada banyak channel youtube, tulisan-tulisan di blogspot atau website, beberapa postingan selebgram, dan pelbagai jenis media online lainnya yang membahas mengenai agenda literasi, seperti : membaca, menulis, critical thinking, creativity to problem solving, dan lainnya. Jelas sekali, saya sangat tertarik dengan hal semacam itu. Saya lebih senang melihat konten yang dapat mengedukasi penikmatnya daripada konten yang sepertinya tak ada faedah nya sama sekali. Dan faktanya saya melihat ada ribuan penonton, ribuan pembaca, ribuan peminat yang mengakses konten-konten tersebut. Hal itu membuat pikiran saya berdecak kagum sekaligus terhairan-hairan tak menyangka. Mengherankan sekaligus kagum pasalnya di Negara Indonesia yang katanya menduduki peringkat sangat rendah sekali dalam 3 aspek pendidikan, yang salah satunya adalah kemampuan dan minat literasi. Tapi siapa sangka, konten yang berbau literasi tersebut alih-alih mendapati banyak ribuan peminat juga. Sehingga secara tak langsung timbullah ekspektasi saya karena hal itu ; sebenarnya masyarakat Indonesia telah nampak keminatannya dalam bidang literasi, telah nampaklah kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis, telah nampaklah ada rasa kemauan yang cukup tinggi bagi semua. Namun, mengapa ranking kita begitu jauh sekali padahal minat kita setidaknya sudah terlihat walau belumlah mumpuni? Setidaknya ada suatu kekeliruan menurutku. Mari akan kutunjukkan!
Kala itu, saat dimana sekolah benar-benar ditutup ihwal virus corona yang menyebar merambak seantero negri, lalu mau tak mau haruslah diganti dengan metode pembelajaran di rumah saja melalui daring. Saya seringkali membantu teman-teman saya mengerjakan banyak tugas mereka yang diberikannya oleh gurunya. Satu waktu, saya sedang membantu salah seorang teman saya mengerjakan tugasnya, ia diberikan tugas untuk merangkum materi Biologi tentang Metabolisme Sel sebanyak satu bab penuh. Ia diberinya oleh gurunya ebook materi sebagai acuan untuk tugasnya. Setelah kami membaca lembar per lembar, uraian materi pada ebook nya terasa berbelit-belit nan sukar untuk dipahami. Akhirnya, saya menyarankan kepadanya carilah bahan materi yang lain yang bisa membuatnya memahaminya dengan mudah. Tanpa pikir panjang, ia menuruti saran saya. Lantas, dikumpulkannya sebagian materi itu yang ia search, lalu kami pilah mana yang sepatutnya mudah untuk dipahami. Saya temuilah salah satu ebook yang sangat-sangat mudah untuk dipahami. Ringkas, padat, sederhana, tak bertele-tele. Sekali baca pun langsung paham. Saya sarankan lagi untuk rangkum saja ebook yang mudah itu daripada yang dari gurunya, sukar. Pendek saja kuberpikir. Karena pada saat itu saya berpikir seorang guru takkan memprotes tugasnya, yang penting substansi nya sama ; mengenai Metabolisme sel, dan rangkumannya pun nanti tak jauh beda, malah harusnya bisa lebih baik sebab mudah dipahami juga. Tapi, setelah ia selesai merangkum dan lalu dikumpulkan tugasnya. Seketika langsung ditolaklah oleh gurunya itu, dengan dalih tak sesuai dengan materi yang ia beri. Batin ini terasa bersalah sekali sebab saya biang kerok dari kesalahan rangkumannya itu. Mau tak mau kita mulai kembali dari awal untuk mengerjakan sesuai dengan apa yang diinginkan gurunya.
Dari sepenggal cerita itu, saya agak sedikit gusar dan mungkin tak terima juga, sempat saya tanyakan pada sebagian teman saya ihwal kegusaran itu. "Kenapa harus sesuai dengan apa yang diberikan guru? Apa bedanya materi dari guru dengan materi yg lain? Toh sama-sama Metabolisme Sel? Apa bedanya rangkuman dari bahan guru dengan bahan materi yg lain? Kok malah bahas fisik rangkumannya? Bukan substansi rangkumannya? Toh tetep saja pakai yang itu atau pakai yang ini juga jika kedua-duanya berpotensi lebih membuat si murid paham, Apa salah nya? Dimana salahnya? Dimana kekeliruannya? Menurut saya yang penting itu substansi bukan eksistensi. Apalagi jika bahan ajarnya tak membuat paham sama sekali. Hanya sekedar mengumpulkan tugas saja dan lalu mendapat nilai, selepas itu lalai entah kemana. Nilai? Makhluk apa pula itu? Ia hanya angka kosong tak bermakna. Daripada pakai bahan ajar ebook itu yg mumetnya minta ampun. Belum tentu bisa paham juga. Lebih baik cari referensi yg lain, yang bisa membuat cepat paham dan efektif dilakukan. Tugas harusnya membikin murid memahami, ini kok malah bikin murid njlimet toh gimana? Sekolah kok malah membatasi pikiran murid. Membatasi imajinasi murid. Membatasi kemampuan murid. Katanya pendidikan." Seperti itulah kurang lebihnya lontaran pertanyaan saya pada mereka. Memang agak sedikit nyeleneh, tapi jika dibiarkan saja, persoalan ini akan terus menjamur dan semakin sukar saja untuk diubah.
Seperti konsep yang Bapak Pendidikan Indonesia berikan ; Ki Hajar Dewantara. Beliau memiliki konsep tentang pendidikan yang didasarkan pada asas kemerdekaan yang memiliki arti bahwa manusia diberi "kebebasan" dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan dengan aturan yang ada di masyarakat. Ki Hajar Dewantara berkomitmen kepada prinsipnya bahwa kemerdekaan berpikir, kemerdekaan bertindak, kemerdekaan berekspresi harus dijunjung tinggi, sebab itulah daya dan nyawa dari para siswa untuk tumbuh dan berkembang. Dan menolak bentuk pengekangan berpikir, pengkerdilan tingkah laku, pemrosotan bernalar, sebab itulah parasit dan penyakit yang dapat memicu gagalnya tumbuh kembang para siswa. Jadi, berilah kebebasan kepada setiap para siswa dalam berpikir, berekspresi, bertindak dalam menempuh materinya, dalam menempuh belajarnya. Setiap murid itu kan mempunyai karakter berbeda-beda. Gaya belajarnya pun berbeda-beda. Ada yang lebih mudah paham jika dijelaskan oleh guru, ada yang lebih mudah memahami jika dengan membaca, melihat video, atau praktek langsung. Yah, seperti itulah siswa. Ia memiliki kemampuan dan keistimewaan masing-masing, dan tugas kita adalah mengembangkannya jangan mematahkannya. Dan untuk semua pelajar, kiranya hanya satu saja. Ingatlah pesan Buya Hamka ; "Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah".
Nah, apa pula hubungannya cerita saya dengan minat literasi seperti yang saya singgung di atas? Nah, inti dari uraian saya di atas adalah ; Kebebasan/Merdeka. Itulah mengapa ranking kita di dunia begitu merosotnya. Pikiran kita cenderung di wafat kan oleh sistem-sistem yang ada, baik sengaja maupun tak sengaja sekalipun. Menurut saya, kemampuan literasi pun harus didasari dengan kebebasan dan kemerdekaan kita dalam berekspresi. Apalagi melihat minat dan kesadaran masyarakat akan penting nya literasi sudah sedemikian meningkat, namun kita hanya stuck pada niat dan gairah saja, tak pernah ingin mencoba untuk mulai membaca, apapun itu. Jika berbicara mengenai kemerdekaan dan kebebasan dalam membaca, saya jadi ingat apa yang diutarakan oleh Mbak Nana (Najwa Shihab) ; "Hanya perlu satu buku untuk membuat kita jatuh cinta, cari buku itu, dan mari jatuh cinta". Carilah apapun buku kesukaanmu dan bacalah. Jika sudah mulai membaca, lalu hayatilah, tanami rasa ingin tahumu terhadap bacaan. Dan saya bisa jamin, kita akan segera bertemu dengan dimensi sakau kita terhadap apapun yang kita baca. Kuncinya, carilah buku kesukaanmu, mulailah baca dahulu, budayakan dahulu aktivitas membacamu, tak apa jika meradikalkan diri untuk memaksa membaca, lakukan itu secara berkesinambungan. Percayalah! Kita akan merasakan euforia yang tak pernah kita rasakan sebelumnya. Dan voila! Selamat kau akan menjadi pecandu dalam membaca. Yaaah! Semoga Minat Literasi di Negara kita semakin baik lagi untuk kedepannya. Aaamiiinnn.
Komentar
Posting Komentar